Solusi Ibnu Taimiyah bagi Mereka yang Berbeda Pendapat soal Bacaan Basmalah dalam Shalat Jahriyah
Berbicara masalah perbedaan tata cara pelaksanaan shalat, salah satu yang sering menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat adalah masalah bacaan Basmalah. Dalam shalat Jahriyah, apakah seorang imam harus membaca Basmalah dengan keras (jahr) atau cukup dibacakan dengan pelan?Menjawab pertanyaan tersebut, para ulama terbagi menjadi dua pendapat, yaitu:
Pendapat pertama: Dibaca pelan
Dalil dari pendapat di atas sebagaimana hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik bahwa Nabi SAW, Abu Bakar, dan Umar memulai shalat dengan membaca, “Alhamdulillâhi rabbil âlamîn.”Di dalam riwayat Muslim, diriwayatkan dari Anas juga bahwa ia berkata, “Saya pernah shalat bersama Rasulullah, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Namun, tidak pernah terdengar salah seorang pun dari mereka yang membaca (dengan keras) bismillâhirrahmânirrahîm.” Inilah dalil yang paling kuat. ( Lihat: HR Muslim: IV/110)
Pendapat kedua: Dibaca keras(jahr).
Dalil pendapat ini yaitu:
Satu, Basmalah termasuk bagian dari surat (Al-Fatihah) tersebut sehingga dibaca keras sebagaimana ayat-ayat setelah itu dalam surat Al-Fatihah.
Dua, An-Nasa’i meriwayatkan dari jalur Nua’im Al-Mujmir bahwa ia berkata, “Saya shalat di belakang Abu Hurairah ra. Ia membaca bismillâhirrahmânirrahîm lalu membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) hingga ketika sampai bacaan ghairil maghdhubi alaihim waladh dhâllîn (Al-Fâtihah: 7), ia mengucapkan, ‘Âmîn.’ Orang-orang pun mengucapkan, ‘Âmîn.’ Ketika hendak sujud, ia mengucapkan, ‘Allâhu akbar,’ dan ketika berdiri dari duduk kedua, ia mengucapkan, ‘Allâhu akbar.’Setelah salam, ia berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku adalah orang yang shalatnya paling mirip dengan shalat Rasulullah SAW di antara kalian’.”Hadits ini adalah dalil terkuat bagi pendapat ini, di samping dalil-dali yang lain bagi kedua pendapat tersebut. Oleh karena itu, jelaslah bahwa dua pendapat ini sama-sama kuat dan kebenarannya ada di sisi Allah Yang Mahasuci.
Ibnul Qayyim berkata, “Nabi membaca Al-Fâtihah dan kadang-kadang membaca bismillâhirrahmânirrahîm dengan suara keras dan lebih sering membacanya dengan suara pelan.”(Zâdul Ma’âd: I/206)
Keras-pelannya bacaan Al-Fatihah menjadi salah satu penyebab perselisihan dan perbedaan di antara kaum muslimin. Misalnya, seorang imam memelankan bacaan basmalah maka terjadi perselisihan di antara makmumnya.
Beberapa makmum ada yang mempertanyakan, “Mengapa ia tidak membacanya dengan suara keras? Padahal di dalam diri salafush shalih terdapat teladan yang baik.”Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, “Para shahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka, sebagian membaca basmalah dan sebagian tidak membacanya; sebagian mengeraskannya dan sebagian tidak mengeraskannya.
Meski demikian, sebagian mereka tetap mau mendirikan shalat di belakang sebagian yang lain. Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Abu Hanifah beserta para pengikutnya, Asy-Syafi’i, dan selain mereka. Mereka shalat di belakang para imam penduduk Madinah yang bermazhab Maliki, walaupun para imam tersebut tidak membaca basmalah, baik pelan maupun keras.” (Majmû’ul Fatâwâ: XXIII/374–375)
Ibnu Taimiyyah melanjutkan, “Kita dianjurkan berniat untuk menyatukan hati dan meninggalkan perbedaan ini. Karena, maslahat kesatuan dalam agama lebih utama daripada maslahat perbuatan seperti ini.
Sebagaimana Ibnu Mas’ud pernah mengingkari Utsman untuk menyempurnakan shalat dalam kondisi safar (bepergian). Meski demikian, ia tetap mau shalat di belakangnya dengan rakaat lengkap. Ia berujar, ‘Perselisihan adalah keburukan’.” (Majmû’ul Fatâwâ: XXII/407)
Maka dari itu, Ibnu Taimiyyah menyimpulkan, “Pendapat yang benar ialah imam yang aslinya membaca dengan tidak mengeraskannya terkadang disyariatkan untuk mengeraskan demi maslahat yang lebih penting.
Karenanya, seorang imam terkadang disyariatkan mengeraskan bacaan basmalah demi untuk mengajari para makmum. Di samping, seseorang juga dibolehkan untuk meninggalkan sesuatu yang lebih utama demi untuk menyatukan hati karena khawatir yang baik (benar) akan ditinggalkan.”Contohnya adalah Nabi SAW.
Beliau tidak membangun Ka‘bah di atas Qawa’id Ibrahim (Pondasi Ka’bah yang sudah dibangun oleh Nabi Ibrahim AS) karena orang-orang Quraisy saat itu baru saja keluar dari masa-masa jahiliyah dan beliau khawatir bila hal itu membuat mereka menjauh. Beliau juga melihat bahwa maslahat persatuan dan menyatukan hati lebih diutamakan daripada maslahat bangunan di atas Qawa’id Ibrahim.
Karena itu, para imam seperti Imam Ahmad dan lainnya menganjurkan agar maslahat seperti itu lebih diutamakan daripada mengeraskan basmalah. Demikian pula dalam hal selain pengucapan basmalah.
Intinya, pengalihan dari sesuatu yang lebih utama kepada sesuatu yang kurang utama namun tetap dibolehkan demi menjaga kesatuan para makmum, mengajarkan sunah kepada mereka, atau manfaat lain semisal.” (Majmû’ul Fatâwâ: XXII/436–437)Wallâhu a’lam bish shawab!
Penulis: Fahrudin