Kewajiban Mempelajari Alqur'an
https://pintumuslim.blogspot.com/2017/02/kewajiban-mempelajari-alquran.html
Memahami Al-Quran adalah kewajiban setiap muslim, karena ia adalah perintah Allah bagi hamba-Nya, dan risalah-Nya yang dikirim kepada mereka melalui utusan-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barang siapa tidak membaca dan tidak memahami Al-Qur’an, berarti ia telah merendahkan risalah Allah dan sekaligus merendahkan siapa yang mengirimnya serta siapa yang diutus untuk membawanya. Jika perbuatan ini dipandang buruk diantara manusia dengan manusia, lantas bagaimana halnya antara hamba dengan Tuhannya, antara makhluk dengan Khaliq dan pemberi rezkinya?! Apalah artinya risalah manusia melalui pos, jika dibanding dengan Tuhan melalui Rasul-Nya?!
Hendaknya orang yang berpaling dari kitab Tuhannya menyadari: dengan siapa dia merenggangkan hubungan, terhadap siapa ia bertindak tidak sopan, dan risalah siapa yang dia sepelekan?! Hendaknya dia menyadari pula, dosa apa yang telah dia lakukan, dan siksaan apa yang mestinya dia terima?! Sesungguhnya ia adalah risalah Tuhan dan Tuannya. Sepatutnyalah risalah itu dia baca dengan penuh pengagungan dan penghormatan, serta mendengarkan bacaannya dengan penuh ketenangan, penghargaan dan perhatian.
إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS. Maryam {19} ; 58).
Sesungguhnya Allah mewajibkan agar Islam menjadi akidah kita, kaum muslimin, bukan akidah bapak-bapak kita, agar kita memeluknya dengan usaha kita sendiri, bukan bertaqlid dengan orang lain, dan agar kita melihat bukti-bukti kebenaran Al-Quran serta susunan katanya yang teramat indah dengan mata kepala kita sendiri, bukan dengan mata orang lain, supaya kita percaya kepadanya, dan kita menjadi muslim karena usaha dan kehendak kita sendiri, dan bukan karena kondisi yang mengadakan kita, seperti dua orang tua, sehingga kita tumbuh menjadi seorang muslim secara terpaksa, sebagaimana orang Yahudi, orang Masehi dan selain mereka, atas dasar ikut-ikutan, bukan atas dasar pemikiran.
Kita berkewajiban mengetahui dari Al-Quran siapa yang menciptakan kita, untuk apa Dia menciptakan kita, dan bagaimana kita beribadah kepada-Nya. Kita juga wajib memahami nash setiap perintah, setiap larangan, setiap hikmah dan pelajaran. Hendaknya hati kita mendengarkan apa yang difirmankan Allah, sehingga ia tunduk kepada pembicaraan-Nya. Jika tidak, maka tidak ada artinya memeluk Islam secara kebetulan, beribadah karena bertaqlid, beriman tanpa pengetahuan, dan tunduk secara buta. Tidak ada buahnya bekerja secara mekanis, Islam secara keturunan dan beriman dengan prasangka.
Sungguh aneh, jika seorang muslim berpaling dari perbendaharaan hikmah dan rahmat, sehingga ia berpaling dari kebaikannya, padahal ia sudah berada di tangannya?! Apakah tidak aneh jika dia mempelajari dan menghapal buku-buku besar untuk memperoleh diploma, sedangkan ia tidak memahami dan mengkaji kitab Tuhan Yang Maha Esa agar memperoleh kebahagiaan yang paling besar? Manakah diantara keduanya yang lebih penting dan lebih bermanfaat? Jika kita duduk membaca Al-Quran seperti kita duduk setiap hari untuk membaca surat kabar pagi, tentu kita akan memahami agama kita, serta memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Apakah mengetahui berbagai peristiwa manusia dewasa ini lebih penting bagi kita dibanding peristiwa yang akan kita jumpai di hari akhir ? Apakah berita tentang umat umat lebih penting bagi kita dari pada berita tentang diri kita sendiri? Jika kita memperhatikan kemaslahatan duniawi orang lain, maka lebih utama bagi kita memperhatikan kemaslahatan kita pribadi. Jika kita membaca surat kabar setiap hari untuk mengetahui berita-berita manusia, maka bacalah setiap hari sebagian dari ayat-ayat Al-Quran, lalu bahaslah tafsirannya untuk mengetahui kewajiban-kewajiban kita.
Aneh, jika kita melihat tingkah-laku sebagian kaum muslimin, yakni orang-orang yang mengaku kaum intelek, kaum terpelajar dan moderen, mereka sangat mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari berbagai macam buku dan karya manusia, dan mengabaikan Al-Quran, petunjuk dan tuntunan untuk keselamatan mereka. Tidak pernah terbetik didalam hati mereka, bahwa mereka mempunyai bahasan yang wajib mereka baca dan fahami, agama yang wajib mereka pelajari dan ikuti, serta sejarah yang wajib mereka ketahui.
Jika mereka diberi nasehat agar memahami kitab Tuhannya, mereka mengatakan tidak mempunyai waktu dan kesabaran untuk itu. Padahal disisi lain mereka mempunyai banyak waktu dan kesabaran untuk tekun mengerjakan kesenangan harian, serta memelihara tradisi-tradisi sosial seperti kunjungan, beramah tamah, perkumpulan, olah raga, ngobrol dan bersenda gurau. Semua ini, menurut mereka, lebih penting dan lebih mengasyikkan dibanding mengkaji agama dan memahami Al-Quran, karena semua itu memberikan kesenangan kepada akal mereka yang picik, sedangkan Al-Quran membukakan kesalahan mereka dan mengingatkan mereka akan dosa yang banyak. Karena itu mereka lari dan menjauhi Al-Quran. Jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka mendengarkannya dengan rasa tidak senang dan gelisah, dan jika orang mukmin menyeru mereka ke jalan Allah, mereka mentertawakan dan memperolokkannya.
مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلَّا اسْتَمَعُوهُ وَهُمْ يَلْعَبُونَ
“Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main” (QS. Al-Anbiyak {21} ; 2)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfal {8} ; 2)
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. ” (QS. Al-An’am {6} ; 125)
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ
“Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh”. (QS. Fushshilat {41} ; 44).
Allah menggambarkan hati orang-orang yang tidak tersentuh oleh (tidak tunduk kepada) ayat-ayat Allah, serta tidak berusaha untuk mengingat-Nya, bahwa ia adalah hati yang mati dan lebih keras dibanding batu. Allah menggambarkan dengan firmannya :
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْءَانَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (QS. Al-Hasyr {59} ; 21).
Kecelakaan adalah bagi orang yang menjauhi cahaya yang memberinya petunjuk dan bimbingan, serta melenyapkan dan menghancurkan kegelapan kebodohan dari hatinya, namun dia tidak waspada terhadap apa yang membuatnya sengsara dan tidak ingin meraih apa yang membuatnya bahagia, karena mata hatinya sudah tertutup dengan kegelapan, sehingga tidak dapat membedakan antara yang halal dengan yang haram, lalu terjerumus ke jurang yang penuh dosa.
Jauh dari Al-Qur’an berarti jauh dari Allah, jauh dari Allah berarti jauh dari kebenaran, dan jauh dari kebenaran berarti kesesatan, sedangkan kesesatan berarti kebinasaan. Allah berfirman :
كَذَلِكَ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ مَا قَدْ سَبَقَ وَقَدْ ءَاتَيْنَاكَ مِنْ لَدُنَّا ذِكْرًا(99) مَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْرًا(100)
“Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al Qur’an). Barangsiapa berpaling daripada Al Qur’an maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat,” (QS. Thaha {20} : 99-100)
قَدْ جَاءَكُمْ بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ أَبْصَرَ فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ عَمِيَ فَعَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ
“Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka (manfa`atnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara (mu).” (QS. Al-An’am {6} ; 104).
Orang yang meninggalkan Al-Qur’an sama halnya dengan orang yang kafir kepadanya, karena dia tidak menerapkan perintah-perintahnya didalam segala tindakannya, tidak bersandar kepada syariatnya, tidak pula menerangi diri dengan ayat-ayatnya.
Perhatikanlah orang yang mencampakkan Al-Qur’an dari hatinya, sebagaimana ia menjadi musuh dirinya sendiri, menjadi bencana bagi keluarga dan negerinya, dan bagaimana ia membiarkan dirinya dipimpin oleh hawa nafsunya, sehingga dia terjerat oleh syahwat.
Betapa harusnya kaum muslimin mengkaji Al-Quran sebagaimana mereka mempelajari urusan rumah, perdagangan dan ladang mereka. Betapa mereka sangat memerlukan sinar Al-Quran guna menyembuhkan berbagai penyakit hati dan membunuh kuman-kuman penyakit mereka. Betapa sengsaranya orang yang lengah akan penyakitnya, meninggalkan obatnya, dan tidak berusaha untuk menyembuhkannya, sehingga tetap sengsara.
Allah memberitahukan bahwa orang yang meninggalkan Al-Qur`an akan menyesal di hari kiamat kelak, karena dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri, tunduk kepada selain Allah, dan berpaling dari Rasul serta kitab-Nya. Pemberitahuan ini diungkapkan didalam firman-Nya :
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَالَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا(27) يَاوَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا(28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.” Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab (ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an ketika Al Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.” (QS. Al-Furqan {25} ; 27-29)
Kita juga berkewajiban untuk berinteraksi dengan baik terhadapnya dengan memahami dan menafsirkannya. Tidak ada yang lebih baik dari usaha kita untuk mengetahui kehendak Allah terhadap kita. Dan, Allah menurunkan kitab-Nya agar kita mentadabburinya, memahami rahasia-rahasianya, serta mengeksplorasi mutiara-mutiara terpendamnya. Tentunya, setiap orang berusaha sesuai dengan kadar kemampuannya.
Kita juga berinteraksi dengan baik terhadap Al-Qur’an dengan mengikuti petunjuknya serta mengerjakan ajarannya. Dan, memutuskan suatu hukum dengan syariatnya serta mengajak manusia mengikuti petunjuknya. Ia adalah metode bagi kehidupan individu, undang-undang bagi aturan politik, serta petunjuk dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala.
Sayangnya, di zaman kita sekarang ini, banyak kaum muslimin yang hanya sekedar menghafal huruf-hurufnya, namun tidak memperhatikan ajaran-ajarannya, mereka tidak berusaha untuk mempelajari kandungan isinya. Mereka tidak mampu berinteraksi secara benar dengannya, tidak memprioritaskan apa yang menjadi prioritas Al-Qur’an, tidak menganggap besar apa yang dinilai besar oleh Al-Qur’an, serta tidak menganggap kecil apa yang dinilai kecil oleh Al-Qur’an. Diantara mereka, ada yang beriman hanya dengan melaksanakan sebagian isinya, namun kafir dengan sebagian lainnya, seperti yang dilakukan oleh bani Israil terhadap kitab suci mereka. Begitu pula kaum muslimin di zaman kita ini, mereka tidak mampu berinteraksi secara baik dengan Al-Qur’an, seperti yang dikehendaki Allah. Meskipun mereka mengambil berkah dengan membawanya serta menghias dinding-dinding rumah mereka dengan ayat-ayat Al-Qur’an, namun mereka lupa bahwa keberkahan itu akan didapati, apabila mereka mengikuti dan menjalankan hukum-hukumnya. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah :
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan Al Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat” (QS. Al-An’am {6} : 155)
Dan tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dari kelemahan, keterbelakangan, dan keterpecah-belahan mereka, selain dari kembali kepada Al-Qur’an ini. Dengan menjadikannya sebagai dalil yang memberi petunjuk dan imam yang diikuti. Dan cukuplah Al-Qur’an sebagai petunjuk :
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا(122)
“Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (QS. An-Nisa {4} ; 122)
Oleh : H. Muhammad Hamdi, MS,
(Mudir / Direktur Ponpes Hafalan Qur’an Mu’allimin Muhammadiyah Sawah Dangka)
Sumber: muallimin-tahfizh/muslimahzone.com