Kebahagian Iman Al-Ghazali, Itu… (Bagian 1)
TAK terelakkan kehidupan yang bahagia meruapkan sesuatu yang diidamakan bagi semua orang. Miskin atau kaya. Tampan atau cantik. Semua orang yang memiliki akal dan juga jiwa yang sehat pastilah ingin bahagia dalam kehidupannya. Bukankah begitu? Tetapi banyak orang yang salah mengartikan kebagahagian itu sendiri. Tak jarang yang berpandangan bahwa bahagia itu hidup tanpa aturan, bebas kemana saja, atau pun melakukan hal yang diinginkan. Tetapi arti bahagia tidak sesempit dan sesederhana itu. Memuaskan hawa nafsu itu bukan bahagia tetapi terjebak dalam kelalaian yang nyata. Misalnya saja, seseorang yang hedonis. Dengan hidup yang serba bergelimangan barang-barang mewah, uang dan harta benda yang serba berlebihan.
Mereka menganggap bahwa menghabiskan dan mengamburkan uang yang dimiliki merupakan sebuah kebahagiaan dalam hidupnya. Stop! Bahagia bukan itu tahu.Pada suatu ketika ada seseorang yang bertanya kepada Yahya bin Khalid Al-Barmky –seorang Wazir yang mansyhur di dalam Daulat Bani Abbas— lalu ia berkata, “Apakah bahagia itu, tuanku?” Beliau pun menjawab, “Sentosa pengrangi, kuat ingatan, bijaksana akal, tenang dan sabar menuju maksud.”Menurut Hutai’ah ia bersyair, “Menurut pendapatku, bukanlah kebahagian itu pada mengumpul harta benda. Tetapi taqwa akan Allah itulah bahagia. Taqwa akan Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan. Pada sisi Allah-lah kebahagiaan para orang yang taqwa.”Zaid bin Tsabit bersyair, “Jika petang dan pagi seorang manusia telah beroleh aman sentosa dari gangguan manusia, itulah dia orang yang bahagia.”
Orang yang berpegang teguh dengan agama, kebahagiannya ialah ketika meninggalkan barang yang terlarang, mengikut yang tersuruh, menjauhi yang jahat, mendekati yang baik. Bahagianya ialah ketika menjalankan perintah agama.Ibnu Khaldun menguraikan bahwa, “Bahagia itu ialah tunduk dan patuh mengikut garis-garis yang ditentukan Allah dan perikemanusiaan.”Abu Bakar Ar-Razi merupakan seorang tabib Arab yang mansyur, ia memaparkan bahwa, “Bahagia yang dirasa oleh seorang tabib, jika ia dapat menyembuhkan orang yang sakit dengan tidak mempergunakan obat, cukup dengan menggunakan aturan makanan saja.”Imam Al-Ghazali menyatakan, “Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.”
“Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita merasakan nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing, maka kelezatan ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain di tubuh manusia.
Adapun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan sebagai sarana mengingat Allah. Demikian hati, tatkala yang dahulunya belum ada ma’rifat kepada Allah, kemudian ia mendapat nikmat mengenalNya, ia sangat gembira dan tidak sabar ia menunggu masa akan bertemu dengan Allah SWT.” Lanjut Imam Al-Ghazali.
BERSAMBUNG
Referensi: Tasauf Modern/Hamka/Pustaka Panjimas/1990